13 Desember 2012
AKHIR KEKALAHAN ISRAEL
Hari akan datangnya Kekalahan & hancurnya zionis israel oleh Umat Islam
sebagai pertanda akan segera terjadi HARI KIAMAT KUBRA seperti sabda nabi
Muhammad saw, ternyata Di YAKINI oleh banyak kaum zionis & Para Petinggi
Zionis israel sendiri..
Silahkan baca artikel di bawah...
Salam
AL-Pacitan
**
* Akhir Sebuah Entitas
Yang Bernama 'Israel'*
Oleh: Abdul Wahhab al-Masiri
COMES: -Pada tanggal 17 Agustus 2006 lalu, saat terjadi perang Arab-'Israel'
keenam dan ketika pesawat-pesawat tempur Zionis Israel meluluhlantakkan
kota, desa dan infrastruktur Lebanon dengan menumpahkan darah warga sipil
tak berdosa, harian 'Israel' *Ma'ariv* menurunkan sebuah tulisan yang
ditulis wartawan Jonathan Shem dengan judul "Tel Aviv didirikan tahun 1909
dan di tahun 2009 akan menjadi puing-puing" .
Dalam tulisan itu disebutkan:" Seratus tahun lalu mereka
mendirikan kota pertama Yahudi dan seratus tahun berikutnya, setelah
mengurung diri, hilang dari peredaran." Apa yang membawa si penulis tersebut
sampai berbicara tentang sebuah akhir, akhir 'Israel'. Padahal kekuatan
militer Zionis Israel pada puncaknya, serta dukungan politik, dana dan
militer tak terbatas dari AS? Bagaimana mungkin ia bisa menafsiri sikap
seperti itu?
Sebagai awal tulisan ini harus kita sebutkan bahwa ada sebuah
realita yang nyaris hilang di benak kebanyakan dunia Arab. Yaitu, soal akhir
dari 'Israel' itu sudah mengakar dalam diri Zionis Israel. Sampai sebelum
berdirinya entitas Zionis Israel itu sendiri, mayoritas kaum Zionis tahu
bahwa rencana Zionisme adalah sebuah rencana yang mustahil dan mimpi kaum
Zionis itu akan menjadi sebuah halayan belaka.
Pascaberdirinya entitas Zionis Israel dan para pemukim Yahudi
mewujudkan 'kemenangan' atas militer Arab, mulai nyaring suara-suara akan
berakhirnya entitas tersebut.
Di tahun 1954, Menteri Pertahanan dan Luar Negeri 'Isael' saat
itu, Moshe Dayan, dihadapan jenazah temannya yang dibunuh oleh para pasukan
berani mati Palestina mengatakan;" Kita harus siap dan bersenjata, kita harus
kuat dan perkasa, agar jangan sampai pedang ini terlepas dari genggaman kita
dan dunia akan berakhir."
Berakhir, adalah sebuah kata yang terpatri dalam benak mereka.
Para korban yang mereka usir dari tanah air dan tempat tinggalnya,
bersama-sama para keturunannya berubah menjadi pasukan berani mati yang
mengetok pintu meminta tanah yang telah dirampas para penjajah tersebut.
Oleh karena itu, seorang penyair 'Israel' Chaem Gory memandang
bahwa setiap orang 'Israel' dilahirkan "dan di dalamnya ada pisau yang akan
menyembelihnya" , "Tanah ini (yaitu 'Israel') tak habis-habisnya" , selalu
meminta tambahan tempat penggalian dan peti-peti mayat. Pada setiap
kelahiran pasti ada kematian, dan setiap permulaan pasti ada akhirnya.
Sebuah cerita berjudul "Dalam menghadapi hutan" yang ditulis
cerpenis 'Israel' Abraham Yahusha di pertengahan awal di tahun 60-an
menceritakan tentang kejiwaan seorang pelajar 'Israel' yang ditugasi
menunggu hutan yang diurus oleh Dana Moneter Nasional Yahudi di sebuah
wilayah desa milik Arab yang disikat habis oleh orang-orang Yahudi Zionis
bersama desa dan kota-kota lainnya.
Walau si penjaga hutan ini selalu bersenandung tentang
persatuan, ia selalu menghadapi seorang Arab tua bisu salah seorang penduduk
desa, bersama puterinya sedang merawat hutan. Lalu tumbuhlah hubungan cinta
dan benci antara seorang Arab ini dengan orang 'Israel'. Si 'Israel' ini
takut upaya balas dendam dari orang Arab yang menderita bersama keluarganya
akibat pembersihan etnis yang dilakukan oleh Zionis Israel pada tahun 1948.
Akan tetapi walaupun dalam kondisi seperti itu, si penjaga hutan
menemukan dirinya serba salah. Bahkan tanpa disadari, ia membantu orang tua
itu menyalakan api di hutan tersebut.
Pada akhirnya, saat orang tua Arab itu berhasil menyalakan api
di hutan, si penjaga melepaskan segala perasaan kejiwaannya dan merasakan
ketenangan yang aneh setelah hutan itu ludes dibakar api. Yaitu, setelah
akhir perjalanan 'Israel'!
Dalam pertemuan tertutup di Pusat Kajian Politik dan Strategi di
Harian *Al-Ahram*, Mesir, seorang jendral Perancis, Andre Bauver, yang
pernah memimpin pasukan Perancis dalam perang Segitiga melawan Mesir di
tahun 1956, memberitahukan kepada kami sebuah peristiwa aneh. Dan itu ia
saksikan sendiri.
Di akhir tahun 1967, ia pernah bertemu dengan Isaac Rabin, atau
tepatnya beberapa hari usai perang enam hari melawan pasukan Arab. Ketika
keduanya terbang di atas udara Gurun Sinai saat pasukan Zionis Israel pulang
ke 'negara' nya dengan membawa kemenangan telak. Jendral Bauver menyampaikan
ucapan selamat kepada Rabin atas kemenangan militernya. Namun ia terkejut
saat Rabin mengatakan;" Tapi apakah ini semua akan kekal?" Ketika di puncak,
sang jendral itu tahu tentang keniscayaan sebuah akhir perjalanan negara
Yahudi itu.
Masalah akhir dari Zionis Israel ini, banyak yang tidak senang
membahasnya di 'Israel'. Namun hal ini terus memusingkan mereka saat terjadi
krisis. Contoh saja, di saat terjadi Intifadhah tahun 1987, ketika konsensus
Zionis tentang permukiman mulai berguguran, juru bicara pemukim Yahudi,
Israel Harel mengingatkan bahwa jika nanti terjadi bentuk penarikan atau
kompromi apapun (maksudnya penarikan pasukan sepihak). Maka itu tidak hanya
berhenti di garis hijau (perbatasan 1948), sebab akan ada kemunduran
spiritual yang akan bisa mengancam keberadaan negara itu sendiri (*Jerusalem
Post*, 30 Januari 1988).
Ketua Majelis Regional Samera, Sharon (dalam perdebatan
dengannya), "Jalan diplomasi ini adalah akhir dari permukiman Yahudi, itulah
akhir dari 'Israel'" (*Ha'aretz* 17 Januari 2002). Bahkan para pemukim
Yahudi mengeluh-eluhkan bahwa penarikan dari Nablus itu berarti penarikan
dari Tel Aviv.
Bersamaan dengan munculnya Intifadhah Al-Aqsha (Intifadhah jilid
II) beberapa koran 'Israel' sering membahas soal akhir dari entitas Zionis
Israel. Salah satunya, *Yediot Aharonot* (27/1/2002) menurunkan tulisan
berjudul "Mereka membeli vila-vila di luar untuk antisipasi datangnya hari
yang hitam". Di hari dimana orang-orang 'Israel' itu tidak senang untuk
memikirkannya, yaitu berakhirnya entitas Zionis Israel!
Tema itu juga muncul di dalam tulisan Ya'el Bazmelmad (*Ma'ariv*,
27/12/2001) yang memulai tulisannya dengan mengatakan;" Saya selalu berusaha
untuk menjauhkan ide yang cukup merisaukan ini, namun selalu berada di
benakku saat aku berpikir. Apakah akhir dari negara ('Israel') ini sama
seperti berakhirnya gerakan permukiman?"
Gid'aun Eist meringkas sikap ini dengan ungkapannya,
"Menangislah wahai 'Israel' (*Yediot Aharonot*, 29/1/2002).
Bahkan majalah *Newsweek* (2/4/2002) menurunkan edisinya dengan
*cover* majalah bergambar bintang 'Israel' dan didalamnya ada sebuah
pertanyaan berikut;"Masa depan 'Israel'; bagaimana caranya bisa tetap
kekal?" Untuk mempertegas maksud dari cover itu, majalah tersebut
menuliskan; "Apakah negara Yahudi itu akan masih bisa hidup? Dengan jaminan
apa? Dengan identitas apa?"
Tapi yang terpenting lagi adalah apa yang ditulis penulis
'Israel', Amos Allon yang mengatakan bahwa ia menegaskan di saat terjadi
rasa pesimis khawatir kalau nanti sudah tidak ada lagi." "Sudah saya katakan
kepada Anda bahwa apa yang saya khawatirkan itu hanyalah separuhnya saja."
(yang separuhnya lagi bahwa masa itu benar-benar hilang).
Pembicaraan tentang berakhirnya riwayat entitas Zionis Israel,
sering dibahas dalam tulisan Eitan Haber dengan judul "Malam bahagia wahai
sang pesimis... dan duka menyelimuti 'Israel'" (*Yediot Aharonot*,
11/11/2001). Penulis itu mengisyaratkan bahwa militer AS bersenjatakan
peralatan militer yang modern. Namun semua masih ingat gambar atau foto
heli-heli tempur AS terbang mengitari di udara kedubes AS di Saigon dalam
upaya mengevakuasi orang AS dan para anteknya dalam suasana yang sangat
mencekam, sampai matipun sudah terbayang. Pesawat helikopter adalah simbol
kekalahan, penyerahan dan kabur dari musuh di saat yang tepat.
Kemudian sang penulis melanjutkan tulisannya dengan
mengatakan;" Tentara invanteri di Vietnam Utara berhasil menghancurkan
orang-orang bersenjata dengan persenjataan modern. Rahasianya adalah pada
ruh (jiwa) yang mendorong para pejuang dan pemimpinnya itu untuk menang. Ruh
disini artinya spiritual, kegigihan dan kesadaran akan kebenaran konsep
serta perasaan akan tidak adanya pilihan yang lain. Dan ini yang tidak
dimiliki oleh 'Israel' yang sekarang sedang dirundung duka."
Penulis lain, Abraham Bourg dalam tulisannya (*Yediot Aharonot*,
29/8/2003) mengatakan bahwa "Akhir dari rencana Zionisme internasional sudah
diambang pintu kegagalan. Di sana ada fenomena riil bahwa generasi kita ini
adalah generasi terakhir dari Zionisme."
Mungkin masih ada yang namanya negara Yahudi, tapi akan sangat
berbeda sekali, aneh dan jelek. Karena negara ini kehilangan rasa keadilan
yang mungkin bisa melanggengkannya. Bangunan struktural Zionisme
internasional sudah mulai retak. Sama seperti tempat-tempat resepsi murah
yang ada di Al-Quds (Jerusalem). Dimana sejumlah orang gila sedang asyik
berdansa di lantai atas, sementara tiang-tiang di lantai bawah mulai goyah."
Dengan tema yang baru, dalam tulisan Liron London (*Yediot
Aharonot*, 27/11/2003) berjudul "Tanda-tanda kiamat sudah mulai dekat kepada
negara 'Israel'". Dalam tulisan itu menyebutkan; "Dalam konferensi imunitas
sosial yang dilaksanakan pada pekan ini, diketahui bahwa mayoritas orang
'Israel' mengeluhkan jika nantinya negara ini ('Israel') akan eksis setelah
30 tahun kemudian. Data yang menggegerkan ini menunjukkan bahwa tanda-tanda
akhir zaman semakin dekat.
Saat Mahkamah Internasional memutuskan soal pembangunan tembok
'rasis' pemisah dan menyatakan *illegal*, maka mulailah awal dari akhir
negara Yahudi itu dibicarakan.
Tentu sebuah pertanyaan dengan sendirinya akan muncul; kenapa
bisa ada berita tentang akhir dari riwayat Zionisme yang mengusir
orang-orang 'Israel' itu? Kita akan mendapatkan banyak penyebabnya. Tapi
yang paling urgen adalah para pemukim Yahudi itu tahu bahwa disana ada
sebuah hukum sosial yang berlaku pada semua kekuatan penjajah. Yaitu bahwa
semua penjajah yang memberangus penduduk asli (seperti di Amerika Utara dan
Australia) akan diberikan kekekalan. Sedangkan yang gagal memberangus
penduduk asli (seperti kerajaan Inggris yang dikenal dengan pasukan Salib,
Aljazair dan Afrika Selatan) akan berujung kepada kemusnahan.
Sementara para pemukim Yahudi sendiri tahu dengan baik bahwa
penjajahannya di Palestina ini adalah model yang nomer dua (yang pasti
musnah) dan tidak ada pengecualian dalam hukum itu. Orang-orang Zionis
Israel tahu bahwa dirinya hidup di atas tanah yang pernah disinggahi
kerajaan Inggris, yang berakhir pada kemusnahan.
Dan yang lebih mempertegas lagi adalah eksistensi Barat dan
Zionis. Pada awalnya bersatu dengan rencana salibis dan rencana Zionis lalu
saling bergandengan tangan. Floyd George, PM Inggris yang berkuasa saat
keluarnya Deklarasi Balfour, secara tegas menyatakan bahwa Jendral Allenby
yang memimpin pasukan Inggris menduduki Palestina, pada akhirnya berhasil
memperoleh kemengan dengan kampanye salibisnya.
Atau bisa kita katakan bahwa rencana Zionisme adalah rencana
Inggris itu sendiri setelah menjadi sekuler dan setelah SDM Yahudi dipermak,
dinormalisasi dan disekulerasisi menggantikan SDM Kristen.
Oleh karena itu, para ilmuwan 'Israel' sedang mempelajari
pilar-pilar SDM, ekonomi dan militer bagi entitas Inggris serta hubungan
antara eksistensi ini dengan negeri yang didudukinya. Banyak peneliti Zionis
Israel yang konses meneliti tentang problematika permukiman dan imigran yang
dihadapi oleh entitas Inggris, serta mencoba memahami tentang faktor-faktor
kegagalannya.
Kepeduliaan atau keseriusan ini tidak hanya pada kalangan
akademisi saja. Para politisi pun, seperti Isaac Rabin dan Moshe Dayan juga
konsen dengan masalah permukiman dan imigran. Pada bulan September 1970
Isaac Rabin mencoba melakukan perbandingan antara kerajaan Inggris dan
'negara' Zionis, dimana ia sampai pada satu kesimpulan bahwa bahaya utama
yang mengancam 'Israel' adalah pembekuan imigran. Hal ini, menurut Rabin,
yang akan menyebabkan matinya negara karena kurangnya pasokan darah segar
dan baru didalamnya.
Seorang penulis 'Israel' lainnya, Jury Avnery dan mantan anggota
parlemen 'Israel' Knesset adalah salah satu pemukim Yahudi yang tahu sejak
awal akan gagalnya rencana Zionis dan mimpi mereka tersebut.
Oleh karena itu, sejak tahun 50-an majalah *Haolam Hezza* (Dunia
Ini) diluncurkan oleh Avenry yang khusus melakukan kritik kepada politik dan
kebijakan Zionis Israel. Sebelumnya juga, Avenry mengingatkan akan akhir
kerajaan Inggris yang tidak menyisakan selain sejumlah kerusakan.
Avenry juga menerbitkan sebuah buku berjudul "Israel Tanpa
Zionisme" (1968) didalamnya dilakukan perbandingan mendalam antara kerajaan
Inggris dan negara Zionis Israel. Menurut perbandingan itu, 'Israel' seperti
kerajaan Inggris yang dikepung secara militer karena tidak mempedulikan akan
eksistensi Palestina dan menolak pengakuan bahwa 'tanah yang dijanjikan' itu
sudah ditempati oleh bangsa Arab sejak ratusan tahun yang lalu.
Pada tahun 1983, Avenry kembali kepada tema yang sama, setelah
perang Zionis Israel atas Lebanon. Dalam makalah di majalah *Haolam
Hezza *dengan
judul "Apa yang akan terjadi di akhir nanti?", Avenry mengisyaratkan bahwa
kerajaan Inggris menjajah tanah di atas bumi yang lebih luas dari tanah yang
dijajah oleh negara Zionis Israel. Orang-orang Inggris itu mampu di segala
hal kecuali hidup dalam perdamaian, karena solusi moderat dan hidup
berdampingan secara damai merupakan keanehan pada pembentukan utama bagi
gerakan Zionisme ini.
Ketika generasi baru meminta perdamaian maka semua upaya hilang
secara cuma-cuma bersamaan dengan datangnya aliran baru dari para pemukim
Yahudi. Hal ini menunjukkan betapa kerajaan Inggris tidak pernah
menghilangkan watak kepemilikannya kepada permukiman.
Sampai pada lembaga militer dan ekonomi Inggris yang memainkan
peran secara aktif dalam upaya menggulung upaya perdamaian, upaya ekspansi
Inggris terus berlangsung selama satu generasi hingga dua generasi. Lalu
kondisi galau meliputi mereka dan ketegangan antar Kristen Inggris di satu
sisi dan para kader kelompok Kristen Timur di pihak lain. Hal inilah yang
menyebabkan lemahnya masyarakat permukiman Inggris dan lemahnya dukungan
dana serta SDM dari Barat.
Pada saat yang sama, gelombang baru Islam mulai menggeliat
dengan munculnya gerakan menekan kepada kerajaan Inggris. Umat Islam
menemukan jalan-jalan perdagangan alternatif yang menggantikan jalan-jalan
yang biasa dijadikan singgahan Inggris. Setelah generasi pertama pemimpin
kerajaan Inggris meninggal dunia, mereka digantikan oleh generasi yang
lemah. Sedangkan umat Islam disirami oleh darah baru dari para pemimpin
agung, mulai dari Sholahuddin Al-Ayyubi hingga Zaher Pebras. Perimbangan
kekuatan sekarang berpihak kepada kekuatan selain Inggris. Oleh karena itu,
tidak ada yang bisa menghentikan kekalahan yang dialami oleh kerajaan salib
tersebut!
Hari ini, berita akan berakhirnya riwayat Zionis Israel kembali
bergaung setelah perang keenam usai dan kehebatan perlawanan bangsa Lebanon
menghadapi kebrutalan Zionis Israel.
Orang-orang Zionis Israel tahu batas kekuatannya dan mereka akan
terus menuju kepada akhir riwayatnya. Sama seperti yang disampaikan oleh
budayawan 'Israel' Shalomo Raikh "'Israel' akan menelan kekalahan demi
kekalahan hingga sampai kepada akhir riwayatnya yang pasti datang".
Kemenangan-kemenang an militer itu tidak bisa mewujudkan apa-apa.
Karena perlawanan jihad terus berlangsung yang akhirnya berakibat kepada apa
yang disebut oleh sejarawan 'Israel' Jacob Talmun "Kemenangan yang mandul".
*Wallahu a'alam bisshawab* *(Aljazeera. net/AMRais) *
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar